Jumat, 18 April 2008

NANDA YANG SENANG DIPUJI

Di sekolahnya, Nanda terkenal pintar, jagoan dalam banyak bidang. Di kelas, ia selalu menjadi juara. Ikut pramuka, Nanda menjadi yang terbaik. Ikut lomba menari, prestasi juga ia raih sebagai juara meskipun bukan juara pertama. Dalam lomba gerak jalan antar SD, ia mampu memimpin teman-temannya menjadi juara.

Pokoknya, Nanda adalah murid terbaik di sekolahnya yang mampu berprestasi di segala bidang. Tak heran jika banyak yang merasa kagum padanya. Banyak guru dan teman yang memujinya. Orangtuanya pun bangga padanya.

Mulanya Nanda merasa biasa saja menerima pujian-pujian tersebut. Ia tetap seorang Nanda yang giat belajar untuk meraih prestasi tinggi.
Namun, suatu hari, Bu Siti, wali kelas Nanda, mengadakan ulangan mendadak. Semua murid panik karena tidak siap, termasuk Nanda.
Untunglah hasil yang diperoleh Nanda tetap memuaskan. Meskipun tidak belajar, ia tetap mendapatkan angka 10. Bu Siti memujinya.

“Anak-anak, kalian harus bisa seperti Nanda. Walaupun diberi ulangan mendadak, dia tetap bisa memperoleh nilai yang tinggi. Karena itulah, Ibu minta agar kalian mengikuti jejak Nanda hingga dapat menjadi murid yang berprestasi.”

Teman-teman Nanda tak kurang kagumnya pada Nanda yang mampu meraih nilai terbaik meskipun tidak punya persiapan. Nanda yang tadinya merasa biasa-biasa saja, mulai berpikir tentang betapa hebatnya dirinya. Kalau tidak demikian, mana mungkin Bu Siti mau memujinya di depan kawan-kawan sekelas.

***

Setelah peristiwa itu, Nanda mulai menjadi sombong. Ia menganggap dirinya hebat karena pujian selalu diterimanya. Akibatnya, Nanda menganggap bahwa ia tak perlu belajar lagi, karena merasa semuanya terlalu mudah. Nanda berpikir, ia sudah tahu segalanya hingga iapun tak perlu belajar lagi.

Menjelang ujian semester, bukannya belajar untuk mempersiapkan diri, Nanda malah asyik membaca komik dan majalah. Karena ia terus-menerus berada di kamarnya, orang tuanya mengira bahwa ia sedang belajar. Akibatnya, Nanda bertambah keasyikan karena tidak ada yang menyuruhnya belajar.

Karena tidak belajar, Nanda kesulitan menghadapi dan menjawab soal-soal ulangan semester. Ia panik dan bingung, namun tak mau mencontek. Takut gelarnya sebagai juara kelas tercoreng.

Sepulang dari ulangan semester hari pertama, Nanda buru-buru membuka bukunya dan belajar. Namun karena sudah lama tak belajar, ia menemui kesulitan untuk mencerna isi buku pelajarannya. Nanda sampai menangis karenanya. Tiba-tiba ia merasa menjadi orang paling bodoh di dunia.

***

Saat pembagian rapor, sudah bisa ditebak bahwa nilai-nilai Nanda menurun. Peringkatnya turun hingga posisi 15. Orangtua dan guru-gurunya kecewa melihat hasil yang ia peroleh.

Untunglah Nanda segera sadar bahwa selama ini ia terlalu lengah. Hanya karena pujian, ia jadi melalaikan tugasnya sebagai pelajar. Sejak saat itulah ia berjanji tidak akan mudah termakan pujian atau sanjungan lagi. Karena kalau kita terlalu menyukai pujian, kita akan terlena dan merasa hebat sehingga tak perlu lagi belajar.

Karena itu, Nanda berjanji pada dirinya agar kelak akan terus belajar, tidak peduli betapa banyaknya dan tingginya pujian yang diberikan padanya. Karena, selama hidup kita, kita harus terus belajar hingga ajal menjemput.
Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di rubrik "Sahabat" Harian Pedoman Rakyat, Makassar, edisi Minggu, 22 Februari 2004.

KATAKAN PADANYA


Katakan padanya apa saja
Katakan bahwa aku harus pergi
Katakan saja padanya apa saja
Katakan bahwa aku tak bisa kembali

Bukan apa-apa
Aku memang tak akan pernah kembali
Kau ingin tahu mengapa?
Karena aku tak lagi punya nyali
Aku bukan apa-apa

Yang ada padaku hanya raga
Bukan lagi raga yang berharga
Harga itu telah kujual nyaris tanpa sisa
Demi sesuatu yang kupikir akan berharga

Tak ada yang dapat membuatku kembali
Karena aku telah tersesat jauh
Tersesat di jalan tak berujung
Cepatlah angkat sauh
Pergilah selamatkan diri dan kembali

Tapi tolong, sebelumnya dengarkan dulu
Sampaikan padanya bahwa aku telah pergi
Jangan katakan, aku ternoda malu
Katakan saja bahwa aku takkan kembali
Catatan:
Puisi ini pernah dimuat di majalah Aneka Yess!, edisinya lupa, yang pasti awal September 2003.