Selasa, 23 Juni 2009

GOELALI CHILDREN'S FILM FESTIVAL 2009 : SEPI PENGUNJUNG PADAHAL SANGAT MENARIK (2)

Sebenarnya, hari itu saya agak malas keluar rumah. Namun karena di rumah juga membosankan, siang itu, Rabu, 17 Juni 2009, saya putuskan saja untuk datang ke CCF Salemba. Sebab, di gedung Pusat Kebudayaan Prancis tersebut, sedang diadakan Goelali Children’s Film Festival ’09.

Tiba di sana, karena pemutaran film kali itu adalah Film Pendek Indonesia-Kawan Setia, saya langsung mengambil voucher film. Sempat ditawari pula untuk membeli pin festival seharga Rp 6000,- per buah dan saya membeli satu buah saja ^_^

Meski sebelumnya saya sudah pernah menyaksikan Film Pendek Indonesia-Kawan Setia, saya masuk saja. Sebab, pemutaran film berikutnya, Little Big Shots Package #4, baru akan dimulai pukul 17.00. Daripada bengong, saya nonton saja apa yang sudah pernah saya tonton. Toh gratis, saya tidak rugi sama sekali, ‘kan? Lagipula, saya menjadi satu dari sedikit orang yang hadir di sana untuk menyaksikan film. Mini teater setempat hanya terisi setengah dari kapasitasnya. Sebagian adalah anak-anak yang cukup berisik dan mengganggu. Barangkali, film pendek memang kurang menarik bagi mereka….

Usai pemutaran Film Pendek Indonesia-Kawan Setia, hanya berselang beberapa menit, film berikutnya dimulai. Untuk rangkaian film pendek ini, saya memberi nilai 3 dari skala 1 sampai 5. Sebab, dari delapan film pendek yang ditayangkan beruntun, hanya empat yang saya sukai. Saya kira, nilai 3 cukup-lah. Bagaimana pun, Film Pendek Indonesia-Kawan Setia, masih lebih saya sukai (saya memberi nilai 4) karena lebih banyak judul film yang menarik bagi saya pribadi.

Namun, kalau mau jujur, sebagai referensi untuk belajar tentang film, saya lebih memilih Little Big Shots Package #4 daripada Film Pendek Indonesia-Kawan Setia. Sebab, dari film-film luar tersebut, saya belajar bahwa untuk menyampaikan sesuatu, kita tidak perlu bertele-tele dan membuang-buang frame dan durasi film. Cukup disampaikan dengan lugas, penonton akan langsung memahami. Berbeda dengan sebagian film Indonesia yang cenderung berlama-lama dan mengulangi apa yang sudah pernah disampaikan dalam adegan sebelumnya….

Meski demikian, karena saya cinta Indonesia, maafkanlah saya jika sedikit subyektif dengan memberi nilai lebih tinggi untuk karya-karya bangsa kita. Nah, inilah uraian saya mengenai Little Big Shots Package #4.

OLI’S CHANCE

Film pembuka ini adalah salah satu dari empat film yang saya sukai. Film animasi 3D yang bercerita tentang seorang anak nakal bernama Oli yang suka bermain di rel kereta api. Sampai suatu saat, Oli bertemu dengan tiga orang anak yang pernah menjadi korban kecelakaan di rel kereta api. Pertemuan ini membuat Oli sadar akan bahaya bermain di rel kereta api. Oli bersyukur, nasibnya tidak seperti ketiga anak tersebut. Film berbahasa Jerman karya Saschka Unseld dan Johanes Weiland ini bagus sekali untuk kampanye mengurangi kecelakaan di jalur kereta api. Tidak hanya anak-anak, orang tua—termasuk mereka yang suka naik ke atap gerbong penumpang—wajib menontonnya!

BREAD

Karya Paola Morabito yang mungkin agak membingungkan bagi anak-anak. Minim dialog dan membutuhkan kejelian sendiri untuk menangkap pesan atau inti dari film ini. Film Australia ini mengisahkan gadis kecil yang harus bekerja di toko roti milik keluarganya. Akibatnya, ia tak bisa mengikuti (atau menyaksikan?) pertandingan sepak bola di sekolahnya. Padahal, sekolahnya berhasil merebut piala kemenangan. Maka, si gadis hanya bisa menendang-nendang roti, seolah sedang bermain sepak bola di toko roti milik keluarganya. Bagus sih…. Tapi menurut saya bagian pembukanya terlalu panjang. Piala kemenangan sekolah, yang membuat si gadis kecil merasa sedih, justru hanya ditampilkan sekilas. Padahal, bukankah piala itulah yang memicu konflik batin dalam diri sang gadis cilik? Akhir kata, saya tidak suka film ini….

NO BIKINI

Film Kanada karya Claudia Morgado Escanilla. Ini juga film kesukaan saya. Bercerita tentang Robin, gadis 7 tahun yang kurang suka dengan bikini yang dibelikan oleh ibunya. Akibatnya, saat sedang mengikuti kelas renang selama enam minggu, Robin memutuskan untuk mengenakan celana pendek saja. Maka, ia pun ‘berubah’ menjadi anak laki-laki. Tak disangka, semua orang percaya bahwa ia adalah anak laki-laki, termasuk guru renangnya sendiri. Robin pun menikmati masa-masa menjadi anak lelaki yang sangat menyenangkan, meskipun tidak mungkin berlangsung selamanya. Hah…. ‘transformasi seksual’ yang indah….

EARLYBIRD

Idenya sih bagus, kampanye naik sepeda agar dapat sampai di tujuan lebih cepat daripada naik mobil. Namun karya sutradara Trace Bolla dari Australia ini agak membosankan saya. Sebab, selama mengikuti film, saya jadi merasa bahwa pembuat filmnya sendiri yang mematahkan kesimpulan bahwa naik sepeda lebih cepat daripada naik mobil. Entah ini perasaan saya yang kurang peka atau pembuatnya yang terlalu senang ‘bermain-main’ dengan animasi 2D, namun saya jadi merasa bahwa perjalanan sang koki—tokoh utama film—menuju tempat kerjanya dibuat menjadi panjang, lama dan pada akhirnya, membosankan….

ANATOMMY

Katanya, Logan Cascia, sutradara film ini baru berusia 18 tahun. Kalau benar demikian, saya salut karena mampu membuat film dokumenter yang bagus dan inspiratif. Film ini mengisahkan Tommy Carroll yang buta karena kanker retina, namun merasa bahwa keadaannya yang cacat justru membuatnya lebih baik. Tommy mengaku, dia tidak bisa membayangkan, apakah ia dapat melakukan segala macam kegiatan seperti lari, main skateboard, main drum dan lain-lain sebaik saat ini (dalam keadaan buta), jika saja ia dapat melihat. Hebat!

HERZOG AND THE MONSTERS

Film Skotlandia yang membuat kepala pusing. Meskipun pemenang penghargaan, saya tidak suka karena kesulitan membaca kata-kata dan huruf-huruf yang ‘berserakan’ di layar. Kisahnya sendiri tentang Herzog yang membuat cerita dari huruf-huruf yang ia curi dari buku-buku milik neneknya. Neneknya marah da mengurung Herzog hingga Herzog tersesat di sebuah hutan yang dipenuhi dengan monster-monster yang tercipta dari rangkaian huruf. Membingungkan bagi saya….

GLOSOLL-SIGUR ROS

Film Islandia karya Stefan Arni dan Siggi Kinski. Yang saya sukai dari film ini hanyalah para pemainnya yang lucu-lucu dan pemandangan alam yang cukup indah. Selain dari itu, tidak ada. Ceritanya sendiri mengenai penabuh drum cilik yang membawa sejumlah anak untuk ‘terbang’ bebas, melayang penuh sukacita. Tanpa dialog dan membuat saya bosan.

SNAKEBITE

Film terbaik biasanya ditempatkan paling akhir. Seperti itulah Snakebite, film Skotlandia karya Matt Pinder. Kisahnya mengenai dua anak gendut-lucu yang bersahabat, Sammy dan David. Saat sedang bermain di sungai, Sammy digigit oleh seekor binatang. David yakin, binatang itu adalah ular dan merasa bahwa Sammy sebentar lagi akan mati. Dua sahabat itu menjadi sedih. Sammy lalu membayangkan, apa yang terjadi saat ia mati nanti. Ia membayangkan keluarganya berduka pada saat penguburannya dan bagaimana kawan-kawannya mengenangnya sebagai anak yang baik dan istimewa. Sammy semakin berduka saat pulang ke rumah hingga orang tuanya pun menggunakan sedikit muslihat untuk mengatasi kesedihan hati Sammy. Film yang sederhana dan sangat cocok untuk anak-anak. Dan yang pasti, sepanjang film, saya tak henti menahan tawa geli melihat tingkah Sammy yang polos dan menggemaskan.

Usai menonton, saya segera pulang. Gedung CCF semakin sepi saja….

Tidak ada komentar: