Senin, 05 Mei 2008

SANDAL PEMBAWA MAAF

Sudah seminggu ini Asti tidak mau berbicara dengan Guntur. Penyebabnya adalah ketidaksengajaan Guntur yang menendang bola ke arah Asti saat ia bermain bola dengan dengan anak-anak dari kampung sebelah tempo hari. Bola itu dengan telak mengenai wajah Asti hingga ia terjungkal.

Waktu itu Asti menangis kesakitan. Karena terlalu marah, ia tak mau menerima permintaan maaf Guntur dan memusuhi teman sekolahnya itu. Hal ini tentu saja membuat Guntur bingung dan memutuskan meminta bantuan Riri, sepupu Asti.

Mendengar masalah yang dihadapi Guntur, membuat Riri berpikir keras. Gadis cilik yang terkenal banyak akal itu akhirnya tersenyum lebar saat menemukan cara agar Asti mau memaafkan Guntur.

Bak ilmuwan yang baru mendapatkan penemuan baru, ia menjentikkan tangannya lalu berbisik pada Guntur. Padahal siang itu di halaman rumahnya tak ada orang lain selain mereka berdua.

Guntur mengerutkan kening setelah mendengarkan uraian Riri.

“Apa bisa berhasil?” tanyanya ragu.

“Tentu saja. Asti keterlaluan kalau tak mau memaafkanmu,” jawab Riri yakin dan penuh semangat, membuat Guntur manggut-manggut.

***

Pagi itu seusai salat Idhul Adha, Asti bergegas mendahului jemah lain. Ia ingin segera tiba di rumah dan meneguk air segelas karena merasa sangat haus. Maklum, sebelum salat Idhul Adha selesai, orang memang masih harus dalam keadaan berpuasa. Bagi anak sekecil Asti, mungkin terasa agak sulit.

Namun alangkah paniknya anak itu saat melihat sandal jepit barunya yang berwarna ungu muda hilang satu buah, terselip di antara sandal-sandal lain yang berserakan. Sementara sebuah lagi entah berada di mana.

Mana mungkin dicuri orang kalau cuma hilang sebuah, pikirnya. Ia terus mencari-cari. Siapa tahu terselip di antara tumpukan sandal lain yang berserakan di luar masjid. Namun sia-sia, sandalnya itu tak ia temukan juga.

Asti sudah hampir menangis saat Guntur mendekatinya.

“Ada apa, Ti?” tanya Guntur hati-hati.

Melihat Guntur, Asti langsung membuang muka. Ia masih marah.

Tetapi Guntur tak menyerah.

“Sandalmu hilang, ya?” tanyanya lagi.

Asti tak menjawab. Hanya menatap lesu ke arah sandal yang kini dipeganginya itu. Guntur akhirnya mengerti.

“Oh, sebelahnya tidak ada? Aku bantu carikan, ya?”

Tanpa menunggu jawaban Asti, ia membantu mencarikan sandal berwarna ungu yang cantik itu. Sesekali ia mengangkat sandal-sandal lain yang bertumpuk, siapa tahu sandal Asti tersembunyi di bawahnya. Asti memandangnya, lalu kembali mencari-cari di tengah tumpukan sandal di luar pintu masjid tersebut.

Tak lama kemudian, Guntur berseru riang, “ketemu!”

Asti tak kalah senangnya melihat pasangan sandal yang kini dipegang oleh Guntur tersebut. Rupanya sandal itu tersembunyi di dalam selokan masjid yang kering.

Setelah memakai sandalnya dan mengucapkan terima kasih, si pemilik sandal rupanya merasa heran, mengapa sandalnya bisa ‘terdampar’ sejauh itu. Tapi Guntur buru-buru mengalihkan perhatiannya.

“Ti, aku minta maaf atas kejadian tempo hari waktu aku sedang main bola. Sungguh, waktu itu aku tidak sengaja,” ucap Guntur sambil mengangsurkan tangannya minta dijabat.

Dengan ragu-ragu, Asti membalasnya.

“Iya, aku juga minta maaf. Seharusnya aku tidak boleh semarah itu. Kau ‘kan tidak sengaja.”

Guntur tersenyum mendengarnya. Ia senang sekali karena Asti sudah tak marah lagi padanya.

“Kalau begitu, kita pulang sama-sama, yuk?” ajaknya senang.

Asti mengangguk. Ia juga mengajak Guntur singgah ke rumahnya agar Guntur bisa menikmati juga kari ayam buatan ibu Asti yang terkenal gurih dan enak itu. Tawaran itu tentu saja disambut Guntur dengan sukacita. Permusuhan di antara mereka sudah tak ada lagi di hari raya ini.

Dari balik sebuah pohon, Riri tersenyum melihat Asti dan Guntur yang sudah kembali berdamai. Strategi menyembunyikan sandal Asti itu ternyata berhasil. Bukankah seharusnya memang seperti itu, di antara teman tak boleh ada permusuhan?
Catatan:
Dimuat seminggu setelah Hari Raya Idhul Adha di Harian Pedoman Rakyat Makassar, Minggu 8 Februari 2004.

Tidak ada komentar: