Senin, 05 Mei 2008

SI GIGI KELINCI

“Lihat, Si Gigi Kelinci datang, tuh!”

Seruan Gilang membuat teman-teman sekelasnya menoleh ke arah Putri, si pemilik julukan tersebut. Putri tertunduk dengan wajah merah menahan malu. Pelan-pelan ia berjalan menuju bangkunya. Duduk, lalu pura-pura membuka bukunya, membaca. Pura-pura cuek dengan tawa teman-temannya yang mengejeknya. Padahal, matanya sudah panas karena hampir menangis.

Putri selalu sebal dengan giginya yang tonggos seperti kelinci.

Orang-orang memang sering memuji kecantikannya. Tapi begitu mereka melihat dua buah gigi depan Putri yang menjorok ke depan, biasanya mereka menambahi dengan komentar, “sayang, giginya jelek!”

Entah sudah berapa kali Putri dibuat menangis oleh ejekan teman-temannya, terutama Gilang. Anak itu selalu saja mengungkit soal gigi Putri yang tidak rapi itu. Makanya, Putri sebal melihatnya. Mendengar suaranya saja dia sudah sebal, apalagi melihat wajahnya. Uuugh!

Pulang sekolah, Putri mengadukan kejadian tadi siang pada kakaknya, Mirta. Ia juga meminta agar Mirta mau membantunya membujuk orang tua mereka agar mau membelikan begel (kawat gigi) untuk Putri, agar giginya menjadi lebih rapi.

“Tapi Put, begel itu ‘kan mahal harganya. Lima jutaan, kalau tidak salah. Mana mampu orang tua kita membelikannya? Lagipula, masih banyak hal lain yang lebih penting daripada membeli begel. Obat untuk penyakit asma yang kau derita harganya tidak murah kan?”

Putri terdiam. Meski dalam hati membenarkan kata-kata Mirta, namun ia juga masih belum bisa menerima kekurangannya. Yang diinginkannya saat ini adalah bagaimana caranya agar giginya menjadi lebih rapi, itu saja.

***

Siang itu pada hari Minggu, Putri bersama Mirta berjalan-jalan di sebuah mal. Sebenarnya Mirta hanya ingin mencari buku, namun ia ingin juga berjalan-jalan menemukan buku yang dicarinya. Ditemani Putri, ia berjalan-jalan keliling mal sebelum pulang ke rumah.

Saat mereka melintas di depan sebuah toko yang menjual peralatan olahraga dan pernak-perniknya, Putri tertegun melihat sebuah poster raksasa yang terpampang di kaca pada pintu masuk toko tersebut. Poster seorang pemain sepak bola dunia, Ronaldo. Ia sedang tersenyum memperlihatkan sebaris giginya yang tonggos seperti gigi kelinci!

Dia mampu membeli begel yang terbuat dari emas murni sekalipun, tapi kenapa dia tidak melakukannya, pikir Putri.

Seandainya Ronaldo ada di sini, Putri pasti akan menanyakan hal itu padanya. Tapi, pikir Putri lagi, laki-laki mungkin tidak peduli giginya tonggos. Makanya Ronaldo tak merasa perlu memasang begel.

Tapi saya ‘kan perempuan. Perempuan harus tampil cantik, tidak boleh bergigi tonggos. Dan Putri pun menjadi sedih lagi memikirkan giginya yang jelek itu.

***

Tapi malamnya, saat sedang menonton TV, Putri mendapatkan pelajaran berharga bahwa penampilan memang penting, tapi bukan yang terpenting. Malam itu ia menyaksikan penampilan Agnes Monica, bintang remaja paling digemari saat ini. Di atas panggung Agnes bernyanyi dengan penuh semangat diiringi para penari latarnya dan musik yang menghentak. Pada satu saat Agnes membuka mulutnya lebar-lebar dan oh...gigi kelincinya kelihatan!

Putri terpana. Ternyata Agnes sama saja dengan Ronaldo, tidak peduli dengan kekurangannya. Karena mereka yakin orang-orang tidak akan memerhatikan kekurangan mereka tersebut. Orang-orang lebih menghargai permainan sepak bola Ronaldo daripada mengejek giginya yang jelek.

Demikian juga Agnes. Ia tahu, orang-orang ingin melihat dia bernyanyi atau berakting di sinetron, bukan memerhatikan giginya yang tidak rapi. Padahal kalau mau, mereka bisa merapikan giginya. Tapi mereka tidak melakukannya, karena bagi mereka memakai begel tidak sepenting mengasah bakat dan kemampuan mereka.

Keesokan harinya, dengan langkah tegap, Putri memasuki kelasnya. Ia sudah siap seandainya Gilang kembali mengejeknya. Sekarang ia tidak bersedih lagi jika diejek, karena ia ingat bahwa ia memiliki kelebihan yang bisa diandalkan yang tak dimiliki oleh teman-temannya.

Benar saja. Gilang mengejeknya lagi. Tapi kali ini dengan tenang anak yang diejeknya tersebut menatapnya dan bertanya, “kenapa kau selalu mengejekku? Apa bukan karena iri, nilai-nilaiku selalu menjadi yang terbaik dan menjadi kesayangan guru-guru? Iri karena kau tak pernah bisa merebut posisiku sebagai juara kelas?”

Gilang terkejut bukan main. Tapi Putri sudah melenggang menuju bangkunya. Bertekad untuk belajar lebih giat agar dapat mempertahankan posisinya sebagai juara kelas. Itulah cara terbaik membungkam orang-orang seperti Gilang. Dengan prestasi!

Terima kasih teman-teman senasibku. Terima kasih Ronaldo dan Agnes, untuk pelajarannya yang sangat berharga, bisik Putri dalam hati. Kemudian iapun membuka bukunya. Kali ini bukan untuk menutupi rasa malunya, melainkan untuk belajar giat.
Catatan :
Cerpen ini dimuat di Harian Pedoman Rakyat, Minggu 14 Maret 2004. Waktu itu Agnes dan Ronaldo masih belum tersaingi popularitasnya, jadi inspirasi mengenai makhluk bergigi tonggos pun muncul dari mereka, bukan dari Elly "Ngelenong Nyok" Sugigi. Sebenarnya sih, saya tidak terlalu ngefans pada Ronaldo dan Agnes, tapi tidak ada salahnya memetik pelajaran dari mereka (eh, gigi mereka masih kayak kelinci ga ya?) karena saya juga punya gigi yang rada-rada hihihi... 'maju'!

Tidak ada komentar: